KOMPAS.com
- Sarung sungguh akrab dengan kehidupan rakyat di berbagai pelosok
Nusantara. Di Flores, sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan
penenunnya. Sarung Bugis menjadi saksi manusia saat mereka lahir,
menikah, hingga ajal tiba.
Mari kita berkunjung ke Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sela kesibukan menjajakan dagangannya di Pasar Geliting, Kristina Laer (54) terbahak mendengar pertanyaan di mana ia membeli sarung tenun ikatnya.
”Tidak ada perempuan kami yang membeli sarung. Saya membuat sarung untuk saya sendiri, juga semua orang di pasar ini. Tidak ada pedagang pasar yang kuat membeli sarung tenun ikat,” kata Kristina Laer.
Kegiatan menenun sarung memang sudah membudaya dilakukan oleh kaum perempuan di Flores. Mereka tidak saja membuat lawo (sarung tenun untuk perempuan), tetapi juga luka atau ragi, yaitu sarung untuk laki-laki. Para lelaki bekerja di ladang atau kebun, mengurus ternak, atau melaut bagi yang tinggal di pesisir.
Di Flores, bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan.
Ungkapan itu juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya. ”Mengenakan sarung terbaik menjadi penting untuk menegaskan kemampuan seorang gadis. Dahulu, gadis yang tidak terampil menenun sarung pasti kesulitan mencari jodoh,” ujar kolektor dan pendokumentasi tenun ikat Flores, Romo Bosco Terwinju Pr.
Perlindungan leluhur
Pemaknaan sarung yang begitu dalam di Flores, khususnya di Kabupaten Ende, dimulai dari proses pembuatannya yang tak lepas dari keyakinan adat. Membuat sarung yang terdiri dari aktivitas menata benang, mengikat motif dan ragam hias, mewarnai hingga menenun umumnya dilakukan atau diawali dengan ritual guna mendapatkan perlindungan leluhur atau sebagai perisai diri dari gangguan roh jahat.
Menenun juga tidak boleh dilakukan dalam suasana duka, seperti yang tergambar pada Selasa (21/2/2012) siang di Nua Pu’u, Kampung Induk Nggela di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Hari itu, salah satu warga meninggal dunia. Warga pun pantang membuat kegaduhan selama masa berduka, apalagi menenun.
”Keyakinan adat di sini, apalagi yang rumahnya berdekatan dengan rumah duka, kalau mereka memaksa menenun, akan timbul sesuatu yang tidak baik, misalnya benang akan putus. Di hari keempat dari kedukaan, baru mereka dapat menenun kembali,” kata Mosalaki Pu’u Ine Ame (tetua adat), Lambertus Muda (64).
Meski demikian, kepiawaian perempuan Nggela dalam menenun masih tampak dari jemuran sarung di batang bambu, di kiri-kanan rumah adat yang atap ijuknya menjulur rendah. Juga dari sarung yang dikenakan kaum ibu ketika pulang melayat. Itulah sarung tenun ikat terbaik di setiap masanya, sarung dengan motif tradisional yang masih menggunakan pewarna alami.
Di Kabupaten Ende, sejumlah motif tradisional masih dipertahankan, seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), dan lawo zombo/rombo (motif pepohonan lambang kehidupan).
Adapun penenun di Kabupaten Sikka masih banyak menggunakan motif seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
Romo Bosco menguraikan, keragaman motif berakar dari motif sarung asal Gujarat, yaitu patola. Sejumlah motif patola pada sarung Flores bahkan serupa dengan tenun Gujarat, tetapi dengan struktur dan pola motif yang berbeda.
Dengan segenap kerumitan strukturnya, sarung menjadi penanda asal desa seseorang di Flores. ”Dari sarungnya, seseorang bisa dikenali sebagai orang Sikka, atau Ende-Lio, atau Bajawa. Itu karena tiap-tiap desa memiliki struktur motif yang berlainan,” kata Romo Bosco.
Sebegitu melekatnya dalam kehidupan sehari-hari di Flores, sarung dikenakan siapa pun dan di mana pun. Sarung menjadi pakaian pedagang di pasar, dipakai sebagai alat gendongan bayi, dikenakan ketika Misa Minggu di gereja, atau di pesta. Sarung juga berfungsi sebagai alat barter, mas kawin, penebus utang, pakaian perang suku, hingga menjadi benda pusaka.
Dari Bugis ke Perancis
Sarung juga menjadi ”warna” dalam kehidupan orang Bugis, seperti sarung sutra warna merah pudar yang tak pernah lepas dari tubuh Kame (52), penenun asal Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sarung itu dia pakai saat menenun di kolong rumah panggung, menyelimuti saat tidur, hingga saat mandi.
Jadi, tak berlebihan rasanya apabila peneliti tenun tradisional dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Shaifuddin Bahrum, menyebutkan, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan orang Bugis. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria.
Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis. Dalam acara duka, pria yang membantu pelaksanaan acara sering kali menutupi kepala dengan sarung.
Maka, tak heran pula kalau Sartika (39), yang telah menenun sarung sutra Bugis selama 15 tahun mengatakan, ”Bukan orang Bugis-Makassar kalau tidak punya sarung.”
Motif yang banyak ditemukan pada sarung Bugis adalah kotak-kotak, berukuran besar maupun kecil, yang membentuk petak. Petak ini dihasilkan dari garis yang saling memotong dan membatasi. Dalam budaya Bugis dan Mandar di Sulawesi Barat, hal itu menandakan bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. ”Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan,” ujarnya.
Warnanya umumnya cerah, seperti merah muda, jingga, hijau muda, biru muda, kuning, dan merah. Ada pula yang ditambah benang emas atau perak. ”Warna cerah menunjukkan karakter orang Bugis yang percaya diri dan berani. Benang emas dan perak menjadi lambang kesuksesan,” kata Shaifuddin. Hanya dalam ritual duka, orang Bugis mengenakan sarung berwarna gelap.
Sentra tenun sarung Bugis di Sulsel setidaknya terdapat di tiga kabupaten, yakni Wajo, Gowa, dan Soppeng. Jika berkunjung ke Kecamatan Sabbang Paru, Wajo, yang berada di kawasan pesisir Danau Tempe, suara entakan alat tenun seakan saling menyahut. Di kolong-kolong rumah panggung khas Bugis, para penenun bekerja setidaknya delapan jam setiap hari.
Belakangan, sarung Bugis melanglang buana ke Paris. Urfiah Syanty (46), seorang pendiri Makassar Sampulo (wadah bagi perajin, desainer, dan pengusaha sutra Sulsel), membawa busana bernuansa sarung Bugis ke International Fair of The Muslim World Le Bourget, 17-19 Desember 2011.
Kendati tidak berupa sarung, busana yang ditampilkan menggunakan sutra serat alam dengan pewarna alami serta motif garis yang kerap menjadi motif sarung Bugis. ”Setidaknya, kami membawa bagian dari sarung Bugis ke Paris. Penyesuaian dan modifikasi penting agar sarung bisa diterima oleh khalayak yang lebih luas,” ucap Urfiah. (ROW/SEM/RIZ/SIN)
Sumber: Kompas Cetak
Mari kita berkunjung ke Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sela kesibukan menjajakan dagangannya di Pasar Geliting, Kristina Laer (54) terbahak mendengar pertanyaan di mana ia membeli sarung tenun ikatnya.
”Tidak ada perempuan kami yang membeli sarung. Saya membuat sarung untuk saya sendiri, juga semua orang di pasar ini. Tidak ada pedagang pasar yang kuat membeli sarung tenun ikat,” kata Kristina Laer.
Kegiatan menenun sarung memang sudah membudaya dilakukan oleh kaum perempuan di Flores. Mereka tidak saja membuat lawo (sarung tenun untuk perempuan), tetapi juga luka atau ragi, yaitu sarung untuk laki-laki. Para lelaki bekerja di ladang atau kebun, mengurus ternak, atau melaut bagi yang tinggal di pesisir.
Di Flores, bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan.
Ungkapan itu juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya. ”Mengenakan sarung terbaik menjadi penting untuk menegaskan kemampuan seorang gadis. Dahulu, gadis yang tidak terampil menenun sarung pasti kesulitan mencari jodoh,” ujar kolektor dan pendokumentasi tenun ikat Flores, Romo Bosco Terwinju Pr.
Perlindungan leluhur
Pemaknaan sarung yang begitu dalam di Flores, khususnya di Kabupaten Ende, dimulai dari proses pembuatannya yang tak lepas dari keyakinan adat. Membuat sarung yang terdiri dari aktivitas menata benang, mengikat motif dan ragam hias, mewarnai hingga menenun umumnya dilakukan atau diawali dengan ritual guna mendapatkan perlindungan leluhur atau sebagai perisai diri dari gangguan roh jahat.
Menenun juga tidak boleh dilakukan dalam suasana duka, seperti yang tergambar pada Selasa (21/2/2012) siang di Nua Pu’u, Kampung Induk Nggela di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Hari itu, salah satu warga meninggal dunia. Warga pun pantang membuat kegaduhan selama masa berduka, apalagi menenun.
”Keyakinan adat di sini, apalagi yang rumahnya berdekatan dengan rumah duka, kalau mereka memaksa menenun, akan timbul sesuatu yang tidak baik, misalnya benang akan putus. Di hari keempat dari kedukaan, baru mereka dapat menenun kembali,” kata Mosalaki Pu’u Ine Ame (tetua adat), Lambertus Muda (64).
Meski demikian, kepiawaian perempuan Nggela dalam menenun masih tampak dari jemuran sarung di batang bambu, di kiri-kanan rumah adat yang atap ijuknya menjulur rendah. Juga dari sarung yang dikenakan kaum ibu ketika pulang melayat. Itulah sarung tenun ikat terbaik di setiap masanya, sarung dengan motif tradisional yang masih menggunakan pewarna alami.
Di Kabupaten Ende, sejumlah motif tradisional masih dipertahankan, seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), dan lawo zombo/rombo (motif pepohonan lambang kehidupan).
Adapun penenun di Kabupaten Sikka masih banyak menggunakan motif seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
Romo Bosco menguraikan, keragaman motif berakar dari motif sarung asal Gujarat, yaitu patola. Sejumlah motif patola pada sarung Flores bahkan serupa dengan tenun Gujarat, tetapi dengan struktur dan pola motif yang berbeda.
Dengan segenap kerumitan strukturnya, sarung menjadi penanda asal desa seseorang di Flores. ”Dari sarungnya, seseorang bisa dikenali sebagai orang Sikka, atau Ende-Lio, atau Bajawa. Itu karena tiap-tiap desa memiliki struktur motif yang berlainan,” kata Romo Bosco.
Sebegitu melekatnya dalam kehidupan sehari-hari di Flores, sarung dikenakan siapa pun dan di mana pun. Sarung menjadi pakaian pedagang di pasar, dipakai sebagai alat gendongan bayi, dikenakan ketika Misa Minggu di gereja, atau di pesta. Sarung juga berfungsi sebagai alat barter, mas kawin, penebus utang, pakaian perang suku, hingga menjadi benda pusaka.
Dari Bugis ke Perancis
Sarung juga menjadi ”warna” dalam kehidupan orang Bugis, seperti sarung sutra warna merah pudar yang tak pernah lepas dari tubuh Kame (52), penenun asal Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sarung itu dia pakai saat menenun di kolong rumah panggung, menyelimuti saat tidur, hingga saat mandi.
Jadi, tak berlebihan rasanya apabila peneliti tenun tradisional dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Shaifuddin Bahrum, menyebutkan, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan orang Bugis. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria.
Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis. Dalam acara duka, pria yang membantu pelaksanaan acara sering kali menutupi kepala dengan sarung.
Maka, tak heran pula kalau Sartika (39), yang telah menenun sarung sutra Bugis selama 15 tahun mengatakan, ”Bukan orang Bugis-Makassar kalau tidak punya sarung.”
Motif yang banyak ditemukan pada sarung Bugis adalah kotak-kotak, berukuran besar maupun kecil, yang membentuk petak. Petak ini dihasilkan dari garis yang saling memotong dan membatasi. Dalam budaya Bugis dan Mandar di Sulawesi Barat, hal itu menandakan bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. ”Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan,” ujarnya.
Warnanya umumnya cerah, seperti merah muda, jingga, hijau muda, biru muda, kuning, dan merah. Ada pula yang ditambah benang emas atau perak. ”Warna cerah menunjukkan karakter orang Bugis yang percaya diri dan berani. Benang emas dan perak menjadi lambang kesuksesan,” kata Shaifuddin. Hanya dalam ritual duka, orang Bugis mengenakan sarung berwarna gelap.
Sentra tenun sarung Bugis di Sulsel setidaknya terdapat di tiga kabupaten, yakni Wajo, Gowa, dan Soppeng. Jika berkunjung ke Kecamatan Sabbang Paru, Wajo, yang berada di kawasan pesisir Danau Tempe, suara entakan alat tenun seakan saling menyahut. Di kolong-kolong rumah panggung khas Bugis, para penenun bekerja setidaknya delapan jam setiap hari.
Belakangan, sarung Bugis melanglang buana ke Paris. Urfiah Syanty (46), seorang pendiri Makassar Sampulo (wadah bagi perajin, desainer, dan pengusaha sutra Sulsel), membawa busana bernuansa sarung Bugis ke International Fair of The Muslim World Le Bourget, 17-19 Desember 2011.
Kendati tidak berupa sarung, busana yang ditampilkan menggunakan sutra serat alam dengan pewarna alami serta motif garis yang kerap menjadi motif sarung Bugis. ”Setidaknya, kami membawa bagian dari sarung Bugis ke Paris. Penyesuaian dan modifikasi penting agar sarung bisa diterima oleh khalayak yang lebih luas,” ucap Urfiah. (ROW/SEM/RIZ/SIN)
Sumber: Kompas Cetak