Sumber : Radio Nederland Indonesia
Hentakan kayu terdengar berirama menghantam bambu penahan
alat tenun tradisional milik Konga Ina, seorang ibu muda yang sedang
menenun di bawah kolong rumahnya di Kampung Kalu Waingapu.
Di Sumba Timur, pegawai negeri di lingkungan Pemda diwajibkan
mengenakan pakain dari tenunan tradisonal beberapa kali seminggu. Ini
salah satu komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup
ekonomi pengrajin tenun ikat di Sumba Timur khususnya dan NTT umumnya.
Berbicara tenun ikat tradisional, salah satu yang terkenal sampai ke
luar negeri adalah tenunan asal Sumba Timur. Dengan cara tradisonal dan
dari bahan alam, kain ini disiapkan oleh para penenun untuk sampai ke
tangan konsumen.
Mama Irman
Seorang ibu dengan cekatan memasukkan serta menarik kembali gulungan
benang yang diatur memanjang untuk dipadatkan satu persatu, ditenun
menjadi kain tenunan Sumba dengan kualitas terbaik. Siang itu mama
Irman, panggilan Konga Ina sedang menenun kain Sumba jenis Kawuru
dengan warna utama biru.
Menurut mama Irman, menenun bukan pekerjaan utama yang dikerjakan
dari pagi hingga sore, biasanya kata dia, sambil menjaga kios kecil
di depan rumahnya, ia menenun untuk menambah penghasilan keluarga.
Dirinya mulai belajar menenun setelah tamat SMA.
Salah satu warga Kampung Kalu yang sering membuat kain Sumba, Palulu
Talumeha mengatakan untuk membuat kain Sumba dari awal sampai selesai,
seperti yang sedang ditenun mama Irman, membutuhkan waktu sekitar 1.5
bulan bahkan bisa lebih. Prosesnya, kata Palulu dimulai dari kabokul.
"Dari awal kita harus beli benang, lalu di kabokul. Digulung dengan
batu, setelah itu pamening, dibentang kayak gini. Pakai wanggi
(pembentang) yang kayak begini, setelah itu baru dipasang disini. Siap
untuk digambar, kalau mau ikat langsung juga bisa, gambar juga bisa.
Tergantung jumlah berapa lembar yang kita mau muat dalam 1 kali ikat.
Biasanya kalau dulu itu paling tinggi 3 lembar," kata Palulu.
Untuk menggambar motif pada bentangangan 2 sisi dibutuhkan sekitar 6
hari, sambung Palulu, kemudian pada motif yang sudah dibuat dibentangan
kain lalu diikat menggunakan kalita tali dari daun gewang, sedangkan
waktu untuk mengikat motif dengan tali gewang sekitar 2 minggu.
Pewarna Alam
Setelah selesai mengikat kain, langkah selanjutnya kata Palulu mewarnai,
dari pewarna alam yang ada disekitar kampung. Warna biru didapat dari
daun wora atau daun pohon nila, ditambah beberapa ramuan. Pewarnaan biru
menurut tradisi, khusus dikerjakan oleh perempuan.
Sedangkan untuk warna merah pada kain Sumba Timur diperoleh dari akar
pohon kombu atau pohon mengkudu ditambah bagian pohon loba. Langkah
selanjutnya setelah selesai proses pewarnaan adalah menenun.
Pada umumnya untuk proses pewarnaan kain tradisonal Sumba selalu
digunakan pewarna alam, meskipun ada juga yang menggunakan pewarna dari
toko. Biasanya yang membuat harga jatuh karena menggunakankan pewarna
sintetik, sedangkan kalau kain dibuat dari pewarna alam harga di pasaran
cukup tinggi.
Masih kata Palulu, untuk pemasaran pihaknya merasa kesulitan saat
ini. Dampak dari bom Bali pertama beberapa tahun lalu dirasakan juga
para pengrajin kain Sumba. Sebelum bom Bali I kata Palulu, harga kain
bagus, para pembeli dari sekitar Waingapu ataupun yang datang dari Bali
banyak yang langsung datang ke pengrajin untuk memesan kain. Itu
keadaan dulu sebelum bom Bali I, situasi sekarang sangat berat untuk
penenun, terkadang hasil tenunan dilepas dengan harga yang minim.
Himbauan Bupati
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora saat membuka Raker Pamong Praja
tahun 2011 beberapa waktu lalu berharap ekonomi para pengrajin kain
Sumba akan terangkat bila semakin banyak aparat birokrasi mengunakan
kain tradisonal dalam acara-acara pemerintahan.
"Sebagai lambang budaya dan bentuk apresiasi kita terhadap budaya
yang sudah terbangun saat ini. Situasi ini sungguh menggembirakan hati
karena kita mampu menghadirkan nilai-nilai budaya dalam aktifitas
pemerintahan," kata Gidion.
Dalam konteks yang lebih ril, kita berharap agar pola berbusana
seperti ini, tetap terpelihara sebagai bagian penghargaan kita terhadap
karya-karya leluhur kita yang memiliki nilai sejarah, yang perlu kita
pertahankan dan kembangkan serta diharapkan dapat memacu industri rumah
tangga yang telah berkembang selama ini.
Peran pemerintah
Meskipun dirasakan berat untuk memasarkan kain sumba saat ini oleh
pengrajin, dengan diberlakukan aturan untuk memakai pakaian dengan motif
tradisonal dua kali dalam seminggu di lingkungan Pemerintah Daerah
Sumba Timur, paling tidak sedikit membantu karena pasti permintaan untuk
pembuatan pakaian dari bahan kain tradisonal naik.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat juga mewajibkan
seluruh peserta dan undangan yang hadir dalam Pembukaan serta Penutupan
Sidang DPRD Sumba Timur menggunakan busana tradisonal Sumba.
Untuk di Waingapu harga tenunan tradisonal Sumba berkisar 400 ribu sampai 2.5 juta rupiah per lembarnya.
Laporan ini dibuat oleh Heinrich Dengi dari radio MAX FM Waingapu
Sumba Timur NTT untuk Radio Nederland Siaran Indonesia Ranesi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar