Rabu, 21 Maret 2012

Lebih Intim Dengan Tenun Sumba

Sumber : Radio Nederland Indonesia
Hentakan kayu terdengar berirama menghantam bambu penahan alat tenun tradisional milik Konga Ina, seorang ibu muda yang sedang menenun di bawah kolong rumahnya di Kampung Kalu Waingapu.
Di Sumba Timur, pegawai negeri di lingkungan Pemda diwajibkan mengenakan pakain dari tenunan tradisonal beberapa kali seminggu. Ini salah satu komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi pengrajin tenun ikat di Sumba Timur khususnya dan NTT umumnya.
Berbicara tenun ikat tradisional, salah satu yang terkenal sampai ke luar negeri adalah tenunan asal Sumba Timur. Dengan cara tradisonal dan dari bahan alam, kain ini disiapkan oleh para penenun untuk sampai ke tangan konsumen.
Mama Irman
Seorang ibu dengan cekatan memasukkan serta menarik kembali gulungan benang yang diatur memanjang untuk dipadatkan satu persatu, ditenun menjadi kain tenunan Sumba dengan kualitas terbaik. Siang itu mama Irman, panggilan Konga Ina sedang menenun kain Sumba jenis Kawuru dengan warna utama biru.
Menurut mama Irman, menenun bukan pekerjaan utama yang dikerjakan dari pagi hingga sore, biasanya kata dia, sambil menjaga kios kecil di depan rumahnya, ia menenun untuk menambah penghasilan keluarga. Dirinya mulai belajar menenun setelah tamat SMA.
Salah satu warga Kampung Kalu yang sering membuat kain Sumba, Palulu Talumeha mengatakan untuk membuat kain Sumba dari awal sampai selesai, seperti yang sedang ditenun mama Irman, membutuhkan waktu sekitar 1.5 bulan bahkan bisa lebih. Prosesnya, kata Palulu dimulai dari kabokul.
"Dari awal kita harus beli benang, lalu di kabokul. Digulung dengan batu, setelah itu pamening, dibentang kayak gini. Pakai wanggi (pembentang) yang kayak begini, setelah itu baru dipasang disini. Siap untuk digambar, kalau mau ikat langsung juga bisa, gambar juga bisa. Tergantung jumlah berapa lembar yang kita mau muat dalam 1 kali ikat. Biasanya kalau dulu itu paling tinggi 3 lembar," kata Palulu.
Untuk menggambar motif pada bentangangan 2 sisi dibutuhkan sekitar 6 hari, sambung Palulu, kemudian pada motif yang sudah dibuat dibentangan kain lalu diikat menggunakan kalita tali dari daun gewang, sedangkan waktu untuk mengikat motif dengan tali gewang sekitar 2 minggu.
Pewarna Alam
Setelah selesai mengikat kain, langkah selanjutnya kata Palulu mewarnai, dari pewarna alam yang ada disekitar kampung. Warna biru didapat dari daun wora atau daun pohon nila, ditambah beberapa ramuan. Pewarnaan biru menurut tradisi, khusus dikerjakan oleh perempuan.
Sedangkan untuk warna merah pada kain Sumba Timur diperoleh dari akar pohon kombu atau pohon mengkudu ditambah bagian pohon loba. Langkah selanjutnya setelah selesai proses pewarnaan adalah menenun.
Pada umumnya untuk proses pewarnaan kain tradisonal Sumba selalu digunakan pewarna alam, meskipun ada juga yang menggunakan pewarna dari toko. Biasanya yang membuat harga jatuh karena menggunakankan pewarna sintetik, sedangkan kalau kain dibuat dari pewarna alam harga di pasaran cukup tinggi.
Masih kata Palulu, untuk pemasaran pihaknya merasa kesulitan saat ini. Dampak dari bom Bali pertama beberapa tahun lalu dirasakan juga para pengrajin kain Sumba. Sebelum bom Bali I kata Palulu, harga kain bagus, para pembeli dari sekitar Waingapu ataupun yang datang dari Bali banyak yang langsung datang ke pengrajin untuk memesan kain. Itu keadaan dulu sebelum bom Bali I, situasi sekarang sangat berat untuk penenun, terkadang hasil tenunan dilepas dengan harga yang minim.
Himbauan Bupati
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora saat membuka Raker Pamong Praja tahun 2011 beberapa waktu lalu berharap ekonomi para pengrajin kain Sumba akan terangkat bila semakin banyak aparat birokrasi mengunakan kain tradisonal dalam acara-acara pemerintahan.
"Sebagai lambang budaya dan bentuk apresiasi kita terhadap budaya yang sudah terbangun saat ini. Situasi ini sungguh menggembirakan hati karena kita mampu menghadirkan nilai-nilai budaya dalam aktifitas pemerintahan," kata Gidion.
Dalam konteks yang lebih ril, kita berharap agar pola berbusana seperti ini, tetap terpelihara sebagai bagian penghargaan kita terhadap karya-karya leluhur kita yang memiliki nilai sejarah, yang perlu kita pertahankan dan kembangkan serta diharapkan dapat memacu industri rumah tangga yang telah berkembang selama ini.
Peran pemerintah
Meskipun dirasakan berat untuk memasarkan kain sumba saat ini oleh pengrajin, dengan diberlakukan aturan untuk memakai pakaian dengan motif tradisonal dua kali dalam seminggu di lingkungan Pemerintah Daerah Sumba Timur, paling tidak sedikit membantu karena pasti permintaan untuk pembuatan pakaian dari bahan kain tradisonal naik.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat juga mewajibkan seluruh peserta dan undangan yang hadir dalam Pembukaan serta Penutupan Sidang DPRD Sumba Timur menggunakan busana tradisonal Sumba.
Untuk di Waingapu harga tenunan tradisonal Sumba berkisar 400 ribu sampai 2.5 juta rupiah per lembarnya.
Laporan ini dibuat oleh Heinrich Dengi dari radio MAX FM Waingapu Sumba Timur NTT untuk Radio Nederland Siaran Indonesia Ranesi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar