Salah satu cinderamata khas yang tidak boleh dilupakan saat liburan
ke Flores adalah kain tenun ikat. Anda bisa mengunjungi Maumere untu
membeli dan melihat langsung pembuatannya. Yuk!
Selain batik, kain khas yang dimiliki Indonesia adalah kain tenun
ikat. Anda bisa memperolehnya saat berlibur ke Maumere, NTT. Di sana,
pelancong bukan cuma bisa membeli kain yang diinginkan, tapi juga
melihat langsung proses pembuatannya.
Suku di Maumere yang aktif membuat kain tenun adalah Sikka. Suku yang
desanya berada sekitar 18 km dari pusat Kota Maumere ini menjadi tempat
para Mama menenun kain ikat.
Turis yang kebetulan sedang berlibur di Maumere, bisa melihat ada
banyak Mama yang sedang asyik membuat kain di depan rumah. Ya, kain
tenun ikat ini memang dibuat oleh para wanita Flores yang biasa
dipanggil "Mama". Dengan tekun dan teliti, mereka menyusun benang
satu-persatu menggunakan alat tenun sampai menjadi kain tenun utuh.
Proses pembuatan ini tidaklah mudah dan memakan waktu yang cukup
lama. Para mama harus menghabiskan waktu lebih dari satu bulan untuk
membuat selembar kain tenun. Khusus sarung tenun yang siap pakai, waktu
pembuatannya lebih lama, mencapai 8 bulan. Wah!
Pembuatan kain tenun ini diawali dengan pewarnaan benang. Tidak
seperti kain dari perusahaan tekstil yang menggunakan bahan pewarna
kimia, kain tenun ikat yang dibuat para mama, menggunakan bahan alami.
Biasanya, warna yang digunakan adalah kuning, merah, biru dan juga
cokelat. Untuk warna kuning, mama menggunakan bahan dasar kunyit, dan
warna biru berasal dari daun nila. Untuk membuat kain tampak lebih
berwarna, warna merah yang berasal dari akar mengkudu, dan cokelat dari
batang kakao ditambahkan pada kain.
Untuk motif, mama menggunakan dua jenis motif, yaitu tradisional dan
modern. Motif tradisional adalah motif yang kental dengan budaya
animisme dan dinamisme. Sedangkan motif modern, pada dasarnya tidak jauh
berbeda dengan yang tradisional, yang membedakan hanya ada beberapa
tambahan motif serta tingkat ketebalan motif.
Uniknya, setiap motif yang diciptakan bisa menjadi identitas daerah
asal pembuatan. Jadi, kain yang dibuat mama asal Ende berbeda dengan
kain yang dibuat mama asal Maumere.
Selasa, 12 Juni 2012
Kekayaan Kain Tenun Nusa Tenggara Timur
KOMPAS.com - Indonesia memiliki banyak kekayaan
budaya dalam bentuk kain tradisional. Setiap daerah di Indonesia
memiliki berbagai jenis kain yang indah, seperti songket, batik, tenun,
dan lain sebagainya. Salah satu provinsi yang dikenal memiliki kain
tenun dengan motif yang begitu kaya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT).
NTT memiliki 20 kabupaten dan satu kota yang dihuni oleh 15 suku atau etnis tertentu, dengan adat dan kebudayaan masing-masing.
"Masing-masing suku ini memiliki kreasi kain tenun mereka sendiri sesuai dengan adat, budaya, dan kesenian mereka. Ini terlihat dari corak hias atau motif tenunannya," ungkap Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT, Lusia Leburaya, menjelang show Musa by Musa Widyatmodjo "The Flobamora Indone(she)aku" di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu.
Lusia mengungkapkan, setiap suku memiliki ragam hias tenunan, yang menampilkan berbagai tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan motif abstrak yang dijiwai dari penghayatan akan alam semesta. Lusia menambahkan, di Alor saja dapat ditemukan hampir sekitar 81 motif tenun.
Kain tenun yang dikembangkan oleh setiap suku di NTT ini merupakan seni kerajinan tangan yang diajarkan secara turun-temurun kepada anak-cucu. Kain tenun ini secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai busana sehari-hari, busana untuk tarian atau upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana.
Dalam masyarakat NTT, kain tenun dianggap sebagai harta kekayaan yang bernilai tinggi karena kain ini pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. "Selain dibedakan dari motifnya, kain tenun juga dibedakan menurut proses pembuatannya, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun sotis," jelas Lusia.
1. Tenun ikat
Disebut kain tenun ikat karena proses pembentukan motifnya dilakukan melalui pengikatan benang-benang. Sedikit berbeda dengan di daerah lain dalam menggunakan cara benang pakannya (benang yang dimasukkan melintang pada benang lungsin ketika menenun kain), masyarakat NTT menenun dengan mengikat benang lusi (lungsi). Kain tenun ikat banyak ditemukan tersebar merata di semua kabupaten NTT, kecuali di kabupaten Manggarai dan sebagian kabupaten Ngada.
2. Tenun buna
Tenun buna ini merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar di Timor Tengah bagian utara, dan banyak terdapat di kabupaten Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Belu, dan Timor Tengah bagian utara. Proses pembuatan tenun buna dilakukan dengan mewarnai benang terlebih dulu. Benang yang sudah diwarnai kemudian digunakan untuk membentuk motif yang berbeda-beda pada kain.
3. Tenun lotis atau sotis
Lotis merupakan perpaduan dari kain tenun dengan gaya sulam. Tampilannya mirip dengan tenun songket. Proses pembuatannya mirip dengan tenun buna dimana benang harus diberi warna lebih dulu. Perajin tenun lotis biasanya akan melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu menenun dan menyulam beberapa motif, sehingga dalam satu kain akan terlihat motif seperti tiga dimensi karena jahitan yang agak menonjol keluar.
Gaya tenun ini banyak terdapat di Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Timor Tengah utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat. "Jenis kain inilah yang paling rumit proses pembuatannya, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak heran kalau harganya lebih mahal," tutur desainer Musa Widyatmodjo.
NTT memiliki 20 kabupaten dan satu kota yang dihuni oleh 15 suku atau etnis tertentu, dengan adat dan kebudayaan masing-masing.
"Masing-masing suku ini memiliki kreasi kain tenun mereka sendiri sesuai dengan adat, budaya, dan kesenian mereka. Ini terlihat dari corak hias atau motif tenunannya," ungkap Ketua Dekranasda (Dewan Kerajinan Nasional Daerah) NTT, Lusia Leburaya, menjelang show Musa by Musa Widyatmodjo "The Flobamora Indone(she)aku" di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta, Rabu (23/5/2012) lalu.
Lusia mengungkapkan, setiap suku memiliki ragam hias tenunan, yang menampilkan berbagai tokoh mitos, binatang, tumbuhan, dan motif abstrak yang dijiwai dari penghayatan akan alam semesta. Lusia menambahkan, di Alor saja dapat ditemukan hampir sekitar 81 motif tenun.
Kain tenun yang dikembangkan oleh setiap suku di NTT ini merupakan seni kerajinan tangan yang diajarkan secara turun-temurun kepada anak-cucu. Kain tenun ini secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi, antara lain sebagai busana sehari-hari, busana untuk tarian atau upacara adat, sebagai mas kawin, alat penghargaan dalam upacara kematian, alat pembayar denda adat, alat tukar (uang), perlambang strata sosial seseorang, alat penghargaan kepada tamu, sampai alat untuk menolak bencana.
Dalam masyarakat NTT, kain tenun dianggap sebagai harta kekayaan yang bernilai tinggi karena kain ini pembuatannya sangat sulit dan membutuhkan waktu lama. "Selain dibedakan dari motifnya, kain tenun juga dibedakan menurut proses pembuatannya, yaitu tenun ikat, tenun buna, dan tenun sotis," jelas Lusia.
1. Tenun ikat
Disebut kain tenun ikat karena proses pembentukan motifnya dilakukan melalui pengikatan benang-benang. Sedikit berbeda dengan di daerah lain dalam menggunakan cara benang pakannya (benang yang dimasukkan melintang pada benang lungsin ketika menenun kain), masyarakat NTT menenun dengan mengikat benang lusi (lungsi). Kain tenun ikat banyak ditemukan tersebar merata di semua kabupaten NTT, kecuali di kabupaten Manggarai dan sebagian kabupaten Ngada.
2. Tenun buna
Tenun buna ini merupakan sebuah istilah yang digunakan oleh masyarakat sekitar di Timor Tengah bagian utara, dan banyak terdapat di kabupaten Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Belu, dan Timor Tengah bagian utara. Proses pembuatan tenun buna dilakukan dengan mewarnai benang terlebih dulu. Benang yang sudah diwarnai kemudian digunakan untuk membentuk motif yang berbeda-beda pada kain.
3. Tenun lotis atau sotis
Lotis merupakan perpaduan dari kain tenun dengan gaya sulam. Tampilannya mirip dengan tenun songket. Proses pembuatannya mirip dengan tenun buna dimana benang harus diberi warna lebih dulu. Perajin tenun lotis biasanya akan melakukan dua pekerjaan sekaligus, yaitu menenun dan menyulam beberapa motif, sehingga dalam satu kain akan terlihat motif seperti tiga dimensi karena jahitan yang agak menonjol keluar.
Gaya tenun ini banyak terdapat di Kupang, Timor Tengah bagian selatan, Timor Tengah utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur, dan Sumba Barat. "Jenis kain inilah yang paling rumit proses pembuatannya, dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Tak heran kalau harganya lebih mahal," tutur desainer Musa Widyatmodjo.
Rabu, 21 Maret 2012
Sekali Sarung Tetap Sarung
KOMPAS.com
- Sarung sungguh akrab dengan kehidupan rakyat di berbagai pelosok
Nusantara. Di Flores, sarung menjadi simbol kematangan pribadi perempuan
penenunnya. Sarung Bugis menjadi saksi manusia saat mereka lahir,
menikah, hingga ajal tiba.
Mari kita berkunjung ke Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sela kesibukan menjajakan dagangannya di Pasar Geliting, Kristina Laer (54) terbahak mendengar pertanyaan di mana ia membeli sarung tenun ikatnya.
”Tidak ada perempuan kami yang membeli sarung. Saya membuat sarung untuk saya sendiri, juga semua orang di pasar ini. Tidak ada pedagang pasar yang kuat membeli sarung tenun ikat,” kata Kristina Laer.
Kegiatan menenun sarung memang sudah membudaya dilakukan oleh kaum perempuan di Flores. Mereka tidak saja membuat lawo (sarung tenun untuk perempuan), tetapi juga luka atau ragi, yaitu sarung untuk laki-laki. Para lelaki bekerja di ladang atau kebun, mengurus ternak, atau melaut bagi yang tinggal di pesisir.
Di Flores, bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan.
Ungkapan itu juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya. ”Mengenakan sarung terbaik menjadi penting untuk menegaskan kemampuan seorang gadis. Dahulu, gadis yang tidak terampil menenun sarung pasti kesulitan mencari jodoh,” ujar kolektor dan pendokumentasi tenun ikat Flores, Romo Bosco Terwinju Pr.
Perlindungan leluhur
Pemaknaan sarung yang begitu dalam di Flores, khususnya di Kabupaten Ende, dimulai dari proses pembuatannya yang tak lepas dari keyakinan adat. Membuat sarung yang terdiri dari aktivitas menata benang, mengikat motif dan ragam hias, mewarnai hingga menenun umumnya dilakukan atau diawali dengan ritual guna mendapatkan perlindungan leluhur atau sebagai perisai diri dari gangguan roh jahat.
Menenun juga tidak boleh dilakukan dalam suasana duka, seperti yang tergambar pada Selasa (21/2/2012) siang di Nua Pu’u, Kampung Induk Nggela di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Hari itu, salah satu warga meninggal dunia. Warga pun pantang membuat kegaduhan selama masa berduka, apalagi menenun.
”Keyakinan adat di sini, apalagi yang rumahnya berdekatan dengan rumah duka, kalau mereka memaksa menenun, akan timbul sesuatu yang tidak baik, misalnya benang akan putus. Di hari keempat dari kedukaan, baru mereka dapat menenun kembali,” kata Mosalaki Pu’u Ine Ame (tetua adat), Lambertus Muda (64).
Meski demikian, kepiawaian perempuan Nggela dalam menenun masih tampak dari jemuran sarung di batang bambu, di kiri-kanan rumah adat yang atap ijuknya menjulur rendah. Juga dari sarung yang dikenakan kaum ibu ketika pulang melayat. Itulah sarung tenun ikat terbaik di setiap masanya, sarung dengan motif tradisional yang masih menggunakan pewarna alami.
Di Kabupaten Ende, sejumlah motif tradisional masih dipertahankan, seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), dan lawo zombo/rombo (motif pepohonan lambang kehidupan).
Adapun penenun di Kabupaten Sikka masih banyak menggunakan motif seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
Romo Bosco menguraikan, keragaman motif berakar dari motif sarung asal Gujarat, yaitu patola. Sejumlah motif patola pada sarung Flores bahkan serupa dengan tenun Gujarat, tetapi dengan struktur dan pola motif yang berbeda.
Dengan segenap kerumitan strukturnya, sarung menjadi penanda asal desa seseorang di Flores. ”Dari sarungnya, seseorang bisa dikenali sebagai orang Sikka, atau Ende-Lio, atau Bajawa. Itu karena tiap-tiap desa memiliki struktur motif yang berlainan,” kata Romo Bosco.
Sebegitu melekatnya dalam kehidupan sehari-hari di Flores, sarung dikenakan siapa pun dan di mana pun. Sarung menjadi pakaian pedagang di pasar, dipakai sebagai alat gendongan bayi, dikenakan ketika Misa Minggu di gereja, atau di pesta. Sarung juga berfungsi sebagai alat barter, mas kawin, penebus utang, pakaian perang suku, hingga menjadi benda pusaka.
Dari Bugis ke Perancis
Sarung juga menjadi ”warna” dalam kehidupan orang Bugis, seperti sarung sutra warna merah pudar yang tak pernah lepas dari tubuh Kame (52), penenun asal Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sarung itu dia pakai saat menenun di kolong rumah panggung, menyelimuti saat tidur, hingga saat mandi.
Jadi, tak berlebihan rasanya apabila peneliti tenun tradisional dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Shaifuddin Bahrum, menyebutkan, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan orang Bugis. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria.
Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis. Dalam acara duka, pria yang membantu pelaksanaan acara sering kali menutupi kepala dengan sarung.
Maka, tak heran pula kalau Sartika (39), yang telah menenun sarung sutra Bugis selama 15 tahun mengatakan, ”Bukan orang Bugis-Makassar kalau tidak punya sarung.”
Motif yang banyak ditemukan pada sarung Bugis adalah kotak-kotak, berukuran besar maupun kecil, yang membentuk petak. Petak ini dihasilkan dari garis yang saling memotong dan membatasi. Dalam budaya Bugis dan Mandar di Sulawesi Barat, hal itu menandakan bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. ”Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan,” ujarnya.
Warnanya umumnya cerah, seperti merah muda, jingga, hijau muda, biru muda, kuning, dan merah. Ada pula yang ditambah benang emas atau perak. ”Warna cerah menunjukkan karakter orang Bugis yang percaya diri dan berani. Benang emas dan perak menjadi lambang kesuksesan,” kata Shaifuddin. Hanya dalam ritual duka, orang Bugis mengenakan sarung berwarna gelap.
Sentra tenun sarung Bugis di Sulsel setidaknya terdapat di tiga kabupaten, yakni Wajo, Gowa, dan Soppeng. Jika berkunjung ke Kecamatan Sabbang Paru, Wajo, yang berada di kawasan pesisir Danau Tempe, suara entakan alat tenun seakan saling menyahut. Di kolong-kolong rumah panggung khas Bugis, para penenun bekerja setidaknya delapan jam setiap hari.
Belakangan, sarung Bugis melanglang buana ke Paris. Urfiah Syanty (46), seorang pendiri Makassar Sampulo (wadah bagi perajin, desainer, dan pengusaha sutra Sulsel), membawa busana bernuansa sarung Bugis ke International Fair of The Muslim World Le Bourget, 17-19 Desember 2011.
Kendati tidak berupa sarung, busana yang ditampilkan menggunakan sutra serat alam dengan pewarna alami serta motif garis yang kerap menjadi motif sarung Bugis. ”Setidaknya, kami membawa bagian dari sarung Bugis ke Paris. Penyesuaian dan modifikasi penting agar sarung bisa diterima oleh khalayak yang lebih luas,” ucap Urfiah. (ROW/SEM/RIZ/SIN)
Sumber: Kompas Cetak
Mari kita berkunjung ke Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur. Di sela kesibukan menjajakan dagangannya di Pasar Geliting, Kristina Laer (54) terbahak mendengar pertanyaan di mana ia membeli sarung tenun ikatnya.
”Tidak ada perempuan kami yang membeli sarung. Saya membuat sarung untuk saya sendiri, juga semua orang di pasar ini. Tidak ada pedagang pasar yang kuat membeli sarung tenun ikat,” kata Kristina Laer.
Kegiatan menenun sarung memang sudah membudaya dilakukan oleh kaum perempuan di Flores. Mereka tidak saja membuat lawo (sarung tenun untuk perempuan), tetapi juga luka atau ragi, yaitu sarung untuk laki-laki. Para lelaki bekerja di ladang atau kebun, mengurus ternak, atau melaut bagi yang tinggal di pesisir.
Di Flores, bahkan, ada ungkapan ”Lobe utang ina gete, mala’au seduk ne’i. Ma ha’o ata utang, ata to lele lora.” Artinya, perempuan yang mengenakan sarung indah buatan sendiri menandakan kebesaran dan kematangan pribadi perempuan tersebut. Jika sarung indah itu merupakan pinjaman, biasanya orang akan menertawakan.
Ungkapan itu juga bermakna, sarung terbaik bukanlah sarung yang ditawarkan kepada pembeli, melainkan justru yang dikenakan penenunnya. ”Mengenakan sarung terbaik menjadi penting untuk menegaskan kemampuan seorang gadis. Dahulu, gadis yang tidak terampil menenun sarung pasti kesulitan mencari jodoh,” ujar kolektor dan pendokumentasi tenun ikat Flores, Romo Bosco Terwinju Pr.
Perlindungan leluhur
Pemaknaan sarung yang begitu dalam di Flores, khususnya di Kabupaten Ende, dimulai dari proses pembuatannya yang tak lepas dari keyakinan adat. Membuat sarung yang terdiri dari aktivitas menata benang, mengikat motif dan ragam hias, mewarnai hingga menenun umumnya dilakukan atau diawali dengan ritual guna mendapatkan perlindungan leluhur atau sebagai perisai diri dari gangguan roh jahat.
Menenun juga tidak boleh dilakukan dalam suasana duka, seperti yang tergambar pada Selasa (21/2/2012) siang di Nua Pu’u, Kampung Induk Nggela di Kecamatan Wolojita, Kabupaten Ende. Hari itu, salah satu warga meninggal dunia. Warga pun pantang membuat kegaduhan selama masa berduka, apalagi menenun.
”Keyakinan adat di sini, apalagi yang rumahnya berdekatan dengan rumah duka, kalau mereka memaksa menenun, akan timbul sesuatu yang tidak baik, misalnya benang akan putus. Di hari keempat dari kedukaan, baru mereka dapat menenun kembali,” kata Mosalaki Pu’u Ine Ame (tetua adat), Lambertus Muda (64).
Meski demikian, kepiawaian perempuan Nggela dalam menenun masih tampak dari jemuran sarung di batang bambu, di kiri-kanan rumah adat yang atap ijuknya menjulur rendah. Juga dari sarung yang dikenakan kaum ibu ketika pulang melayat. Itulah sarung tenun ikat terbaik di setiap masanya, sarung dengan motif tradisional yang masih menggunakan pewarna alami.
Di Kabupaten Ende, sejumlah motif tradisional masih dipertahankan, seperti lawo nggaja (motif gajah yang diartikan sebagai kendaraan para dewa), lawo jara (motif kuda), dan lawo zombo/rombo (motif pepohonan lambang kehidupan).
Adapun penenun di Kabupaten Sikka masih banyak menggunakan motif seperti korsang manowalu (burung dalam mitologi setempat), korsang nagalalang (tapak kaki naga), dan lawa jara (motif kuda dan penunggangnya).
Romo Bosco menguraikan, keragaman motif berakar dari motif sarung asal Gujarat, yaitu patola. Sejumlah motif patola pada sarung Flores bahkan serupa dengan tenun Gujarat, tetapi dengan struktur dan pola motif yang berbeda.
Dengan segenap kerumitan strukturnya, sarung menjadi penanda asal desa seseorang di Flores. ”Dari sarungnya, seseorang bisa dikenali sebagai orang Sikka, atau Ende-Lio, atau Bajawa. Itu karena tiap-tiap desa memiliki struktur motif yang berlainan,” kata Romo Bosco.
Sebegitu melekatnya dalam kehidupan sehari-hari di Flores, sarung dikenakan siapa pun dan di mana pun. Sarung menjadi pakaian pedagang di pasar, dipakai sebagai alat gendongan bayi, dikenakan ketika Misa Minggu di gereja, atau di pesta. Sarung juga berfungsi sebagai alat barter, mas kawin, penebus utang, pakaian perang suku, hingga menjadi benda pusaka.
Dari Bugis ke Perancis
Sarung juga menjadi ”warna” dalam kehidupan orang Bugis, seperti sarung sutra warna merah pudar yang tak pernah lepas dari tubuh Kame (52), penenun asal Desa Taeng, Kecamatan Pallangga, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Sarung itu dia pakai saat menenun di kolong rumah panggung, menyelimuti saat tidur, hingga saat mandi.
Jadi, tak berlebihan rasanya apabila peneliti tenun tradisional dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Shaifuddin Bahrum, menyebutkan, sarung ibarat teman dalam siklus kehidupan orang Bugis. Bayi yang baru lahir disandarkan di bantal yang dililit sarung. Orang menikah mengenakan sarung yang dipadankan dengan baju bodo untuk perempuan dan jas tutup untuk pria.
Ketika ajal menjemput, keranda pun ditutupi sarung ataupun kain Bugis. Dalam acara duka, pria yang membantu pelaksanaan acara sering kali menutupi kepala dengan sarung.
Maka, tak heran pula kalau Sartika (39), yang telah menenun sarung sutra Bugis selama 15 tahun mengatakan, ”Bukan orang Bugis-Makassar kalau tidak punya sarung.”
Motif yang banyak ditemukan pada sarung Bugis adalah kotak-kotak, berukuran besar maupun kecil, yang membentuk petak. Petak ini dihasilkan dari garis yang saling memotong dan membatasi. Dalam budaya Bugis dan Mandar di Sulawesi Barat, hal itu menandakan bahwa hak seseorang dibatasi oleh hak orang lain. ”Manusia harus memahami mana haknya dan mana yang bukan,” ujarnya.
Warnanya umumnya cerah, seperti merah muda, jingga, hijau muda, biru muda, kuning, dan merah. Ada pula yang ditambah benang emas atau perak. ”Warna cerah menunjukkan karakter orang Bugis yang percaya diri dan berani. Benang emas dan perak menjadi lambang kesuksesan,” kata Shaifuddin. Hanya dalam ritual duka, orang Bugis mengenakan sarung berwarna gelap.
Sentra tenun sarung Bugis di Sulsel setidaknya terdapat di tiga kabupaten, yakni Wajo, Gowa, dan Soppeng. Jika berkunjung ke Kecamatan Sabbang Paru, Wajo, yang berada di kawasan pesisir Danau Tempe, suara entakan alat tenun seakan saling menyahut. Di kolong-kolong rumah panggung khas Bugis, para penenun bekerja setidaknya delapan jam setiap hari.
Belakangan, sarung Bugis melanglang buana ke Paris. Urfiah Syanty (46), seorang pendiri Makassar Sampulo (wadah bagi perajin, desainer, dan pengusaha sutra Sulsel), membawa busana bernuansa sarung Bugis ke International Fair of The Muslim World Le Bourget, 17-19 Desember 2011.
Kendati tidak berupa sarung, busana yang ditampilkan menggunakan sutra serat alam dengan pewarna alami serta motif garis yang kerap menjadi motif sarung Bugis. ”Setidaknya, kami membawa bagian dari sarung Bugis ke Paris. Penyesuaian dan modifikasi penting agar sarung bisa diterima oleh khalayak yang lebih luas,” ucap Urfiah. (ROW/SEM/RIZ/SIN)
Sumber: Kompas Cetak
Lebih Intim Dengan Tenun Sumba
Sumber : Radio Nederland Indonesia
Hentakan kayu terdengar berirama menghantam bambu penahan alat tenun tradisional milik Konga Ina, seorang ibu muda yang sedang menenun di bawah kolong rumahnya di Kampung Kalu Waingapu.
Di Sumba Timur, pegawai negeri di lingkungan Pemda diwajibkan mengenakan pakain dari tenunan tradisonal beberapa kali seminggu. Ini salah satu komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi pengrajin tenun ikat di Sumba Timur khususnya dan NTT umumnya.
Berbicara tenun ikat tradisional, salah satu yang terkenal sampai ke luar negeri adalah tenunan asal Sumba Timur. Dengan cara tradisonal dan dari bahan alam, kain ini disiapkan oleh para penenun untuk sampai ke tangan konsumen.
Mama Irman
Seorang ibu dengan cekatan memasukkan serta menarik kembali gulungan benang yang diatur memanjang untuk dipadatkan satu persatu, ditenun menjadi kain tenunan Sumba dengan kualitas terbaik. Siang itu mama Irman, panggilan Konga Ina sedang menenun kain Sumba jenis Kawuru dengan warna utama biru.
Menurut mama Irman, menenun bukan pekerjaan utama yang dikerjakan dari pagi hingga sore, biasanya kata dia, sambil menjaga kios kecil di depan rumahnya, ia menenun untuk menambah penghasilan keluarga. Dirinya mulai belajar menenun setelah tamat SMA.
Salah satu warga Kampung Kalu yang sering membuat kain Sumba, Palulu Talumeha mengatakan untuk membuat kain Sumba dari awal sampai selesai, seperti yang sedang ditenun mama Irman, membutuhkan waktu sekitar 1.5 bulan bahkan bisa lebih. Prosesnya, kata Palulu dimulai dari kabokul.
"Dari awal kita harus beli benang, lalu di kabokul. Digulung dengan batu, setelah itu pamening, dibentang kayak gini. Pakai wanggi (pembentang) yang kayak begini, setelah itu baru dipasang disini. Siap untuk digambar, kalau mau ikat langsung juga bisa, gambar juga bisa. Tergantung jumlah berapa lembar yang kita mau muat dalam 1 kali ikat. Biasanya kalau dulu itu paling tinggi 3 lembar," kata Palulu.
Untuk menggambar motif pada bentangangan 2 sisi dibutuhkan sekitar 6 hari, sambung Palulu, kemudian pada motif yang sudah dibuat dibentangan kain lalu diikat menggunakan kalita tali dari daun gewang, sedangkan waktu untuk mengikat motif dengan tali gewang sekitar 2 minggu.
Pewarna Alam
Setelah selesai mengikat kain, langkah selanjutnya kata Palulu mewarnai, dari pewarna alam yang ada disekitar kampung. Warna biru didapat dari daun wora atau daun pohon nila, ditambah beberapa ramuan. Pewarnaan biru menurut tradisi, khusus dikerjakan oleh perempuan.
Sedangkan untuk warna merah pada kain Sumba Timur diperoleh dari akar pohon kombu atau pohon mengkudu ditambah bagian pohon loba. Langkah selanjutnya setelah selesai proses pewarnaan adalah menenun.
Pada umumnya untuk proses pewarnaan kain tradisonal Sumba selalu digunakan pewarna alam, meskipun ada juga yang menggunakan pewarna dari toko. Biasanya yang membuat harga jatuh karena menggunakankan pewarna sintetik, sedangkan kalau kain dibuat dari pewarna alam harga di pasaran cukup tinggi.
Masih kata Palulu, untuk pemasaran pihaknya merasa kesulitan saat ini. Dampak dari bom Bali pertama beberapa tahun lalu dirasakan juga para pengrajin kain Sumba. Sebelum bom Bali I kata Palulu, harga kain bagus, para pembeli dari sekitar Waingapu ataupun yang datang dari Bali banyak yang langsung datang ke pengrajin untuk memesan kain. Itu keadaan dulu sebelum bom Bali I, situasi sekarang sangat berat untuk penenun, terkadang hasil tenunan dilepas dengan harga yang minim.
Himbauan Bupati
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora saat membuka Raker Pamong Praja tahun 2011 beberapa waktu lalu berharap ekonomi para pengrajin kain Sumba akan terangkat bila semakin banyak aparat birokrasi mengunakan kain tradisonal dalam acara-acara pemerintahan.
"Sebagai lambang budaya dan bentuk apresiasi kita terhadap budaya yang sudah terbangun saat ini. Situasi ini sungguh menggembirakan hati karena kita mampu menghadirkan nilai-nilai budaya dalam aktifitas pemerintahan," kata Gidion.
Dalam konteks yang lebih ril, kita berharap agar pola berbusana seperti ini, tetap terpelihara sebagai bagian penghargaan kita terhadap karya-karya leluhur kita yang memiliki nilai sejarah, yang perlu kita pertahankan dan kembangkan serta diharapkan dapat memacu industri rumah tangga yang telah berkembang selama ini.
Peran pemerintah
Meskipun dirasakan berat untuk memasarkan kain sumba saat ini oleh pengrajin, dengan diberlakukan aturan untuk memakai pakaian dengan motif tradisonal dua kali dalam seminggu di lingkungan Pemerintah Daerah Sumba Timur, paling tidak sedikit membantu karena pasti permintaan untuk pembuatan pakaian dari bahan kain tradisonal naik.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat juga mewajibkan seluruh peserta dan undangan yang hadir dalam Pembukaan serta Penutupan Sidang DPRD Sumba Timur menggunakan busana tradisonal Sumba.
Untuk di Waingapu harga tenunan tradisonal Sumba berkisar 400 ribu sampai 2.5 juta rupiah per lembarnya.
Laporan ini dibuat oleh Heinrich Dengi dari radio MAX FM Waingapu Sumba Timur NTT untuk Radio Nederland Siaran Indonesia Ranesi.
Hentakan kayu terdengar berirama menghantam bambu penahan alat tenun tradisional milik Konga Ina, seorang ibu muda yang sedang menenun di bawah kolong rumahnya di Kampung Kalu Waingapu.
Di Sumba Timur, pegawai negeri di lingkungan Pemda diwajibkan mengenakan pakain dari tenunan tradisonal beberapa kali seminggu. Ini salah satu komitmen pemerintah daerah untuk meningkatkan taraf hidup ekonomi pengrajin tenun ikat di Sumba Timur khususnya dan NTT umumnya.
Berbicara tenun ikat tradisional, salah satu yang terkenal sampai ke luar negeri adalah tenunan asal Sumba Timur. Dengan cara tradisonal dan dari bahan alam, kain ini disiapkan oleh para penenun untuk sampai ke tangan konsumen.
Mama Irman
Seorang ibu dengan cekatan memasukkan serta menarik kembali gulungan benang yang diatur memanjang untuk dipadatkan satu persatu, ditenun menjadi kain tenunan Sumba dengan kualitas terbaik. Siang itu mama Irman, panggilan Konga Ina sedang menenun kain Sumba jenis Kawuru dengan warna utama biru.
Menurut mama Irman, menenun bukan pekerjaan utama yang dikerjakan dari pagi hingga sore, biasanya kata dia, sambil menjaga kios kecil di depan rumahnya, ia menenun untuk menambah penghasilan keluarga. Dirinya mulai belajar menenun setelah tamat SMA.
Salah satu warga Kampung Kalu yang sering membuat kain Sumba, Palulu Talumeha mengatakan untuk membuat kain Sumba dari awal sampai selesai, seperti yang sedang ditenun mama Irman, membutuhkan waktu sekitar 1.5 bulan bahkan bisa lebih. Prosesnya, kata Palulu dimulai dari kabokul.
"Dari awal kita harus beli benang, lalu di kabokul. Digulung dengan batu, setelah itu pamening, dibentang kayak gini. Pakai wanggi (pembentang) yang kayak begini, setelah itu baru dipasang disini. Siap untuk digambar, kalau mau ikat langsung juga bisa, gambar juga bisa. Tergantung jumlah berapa lembar yang kita mau muat dalam 1 kali ikat. Biasanya kalau dulu itu paling tinggi 3 lembar," kata Palulu.
Untuk menggambar motif pada bentangangan 2 sisi dibutuhkan sekitar 6 hari, sambung Palulu, kemudian pada motif yang sudah dibuat dibentangan kain lalu diikat menggunakan kalita tali dari daun gewang, sedangkan waktu untuk mengikat motif dengan tali gewang sekitar 2 minggu.
Pewarna Alam
Setelah selesai mengikat kain, langkah selanjutnya kata Palulu mewarnai, dari pewarna alam yang ada disekitar kampung. Warna biru didapat dari daun wora atau daun pohon nila, ditambah beberapa ramuan. Pewarnaan biru menurut tradisi, khusus dikerjakan oleh perempuan.
Sedangkan untuk warna merah pada kain Sumba Timur diperoleh dari akar pohon kombu atau pohon mengkudu ditambah bagian pohon loba. Langkah selanjutnya setelah selesai proses pewarnaan adalah menenun.
Pada umumnya untuk proses pewarnaan kain tradisonal Sumba selalu digunakan pewarna alam, meskipun ada juga yang menggunakan pewarna dari toko. Biasanya yang membuat harga jatuh karena menggunakankan pewarna sintetik, sedangkan kalau kain dibuat dari pewarna alam harga di pasaran cukup tinggi.
Masih kata Palulu, untuk pemasaran pihaknya merasa kesulitan saat ini. Dampak dari bom Bali pertama beberapa tahun lalu dirasakan juga para pengrajin kain Sumba. Sebelum bom Bali I kata Palulu, harga kain bagus, para pembeli dari sekitar Waingapu ataupun yang datang dari Bali banyak yang langsung datang ke pengrajin untuk memesan kain. Itu keadaan dulu sebelum bom Bali I, situasi sekarang sangat berat untuk penenun, terkadang hasil tenunan dilepas dengan harga yang minim.
Himbauan Bupati
Bupati Sumba Timur Gidion Mbilijora saat membuka Raker Pamong Praja tahun 2011 beberapa waktu lalu berharap ekonomi para pengrajin kain Sumba akan terangkat bila semakin banyak aparat birokrasi mengunakan kain tradisonal dalam acara-acara pemerintahan.
"Sebagai lambang budaya dan bentuk apresiasi kita terhadap budaya yang sudah terbangun saat ini. Situasi ini sungguh menggembirakan hati karena kita mampu menghadirkan nilai-nilai budaya dalam aktifitas pemerintahan," kata Gidion.
Dalam konteks yang lebih ril, kita berharap agar pola berbusana seperti ini, tetap terpelihara sebagai bagian penghargaan kita terhadap karya-karya leluhur kita yang memiliki nilai sejarah, yang perlu kita pertahankan dan kembangkan serta diharapkan dapat memacu industri rumah tangga yang telah berkembang selama ini.
Peran pemerintah
Meskipun dirasakan berat untuk memasarkan kain sumba saat ini oleh pengrajin, dengan diberlakukan aturan untuk memakai pakaian dengan motif tradisonal dua kali dalam seminggu di lingkungan Pemerintah Daerah Sumba Timur, paling tidak sedikit membantu karena pasti permintaan untuk pembuatan pakaian dari bahan kain tradisonal naik.
Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah setempat juga mewajibkan seluruh peserta dan undangan yang hadir dalam Pembukaan serta Penutupan Sidang DPRD Sumba Timur menggunakan busana tradisonal Sumba.
Untuk di Waingapu harga tenunan tradisonal Sumba berkisar 400 ribu sampai 2.5 juta rupiah per lembarnya.
Laporan ini dibuat oleh Heinrich Dengi dari radio MAX FM Waingapu Sumba Timur NTT untuk Radio Nederland Siaran Indonesia Ranesi.
Selasa, 20 Maret 2012
Rote, Sawu dan Ndao
Tenun Ikat NTT
Tenun Ikat NTT: Beberapa Hal tentang Tenun Rote, Sawu, dan Ndao yang Perlu Kamu Ketahui
Di NTT, perbedaan peran wanita dan lelaki sangat kentara. Pekerjaan maskulin seperti membuat rumah dan membuat perhiasan logam hanya dilakukan oleh lelaki.
Sementara wanita mengerjakan pekerjaan feminin, salah satunya adalah menenun. Wanita harus bisa setiap tahap dari pekerjaan menenun kain, mulai dari mengolah benang, hingga mempelajari motif-motif yang sesuai dengan adat dan nilai budaya daerah setempat.
Kelompok pulau lainnya di NTT yang kental budaya menenunnya adalah Rote, Ndao, dan Sawu. Secara geografis, ketiga pulau tersebut berdekatan. Oleh sebab itu, motif tenun dari ketiga pulau tersebut senada karena saling memengaruhi. Umumnya, motif tenun dari ketiga pulau itu berupa motif floral dan motif geometris yang terangkai halus dalam beberapa jalur.
Motif potola yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat pada abad ketujuh belas menjadi motif berharga yang memperkaya khasanah motif tenun mereka. Betapa tidak, dahulu kain potola hanya dikenakan oleh keluarga raja dan bangsawan. Kain itu diwariskan turun temurun di kalangan mereka saja. Namun keberadaannya yang langka tak membuat para penenun di ketiga pulau tersebut tak mampu menyerap motif potola. Hingga kini, bunga bersudut delapan dalam lingkaran yang motif potola malah menjadi ciri khas tenunan mereka.
Berikut ini beberapa info untuk kamu tentang ciri tenun di masing-masing pulau:
1. Tenun Rote
Kain tenun ikat dari Rote biasanya berupa kain sarung yang disebut pou, selimut untuk anak lelaki yang disebut lava, atau delava yakni selendang. Warna khas tenun Rote adalah coklat, biru, kuning, dan hitam, dengan motif bunga dan dedaunan. Bentuk tumpal dan belah ketupat menjadi motif bagian bawah kain tenun.
2. Tenun Sawu
Motif tenun ikat dari Sawu dipengaruhi oleh sistim kekerabatan yang rumit di dalam masyarakatnya. Motif bunga besar dan warna biru tua kombinasi merah terang melambangkan keanggotaan pada klan besar. Sementara motif bunga kecil dan warna biru muda menandakan keanggotaan pada klan kecil.
3. Tenun Ndao
Motif tenun ikat di daerah Ndao mengandung unsur motif tenun ikat dari Rote dan Sawu. Banyak orang ndao yang bekerja secara musiman di pulau Rote dan sawu. Atau sebaliknya, pesanan kain tenun pulau Rote dan Sawu dikerjakan oleh penenun Ndao di Ndao.
Tak heran jika NTT sangat kaya akan ragam kain tenun ikat. Pekerjaan menenun sudah mendarah daging bagi penduduknya. Bahkan menurut mereka, pekerjaan menenun adalah pekerjaan yang diturunkan oleh Dewa.
sumber: KainIkat.com
Di NTT, perbedaan peran wanita dan lelaki sangat kentara. Pekerjaan maskulin seperti membuat rumah dan membuat perhiasan logam hanya dilakukan oleh lelaki.
Sementara wanita mengerjakan pekerjaan feminin, salah satunya adalah menenun. Wanita harus bisa setiap tahap dari pekerjaan menenun kain, mulai dari mengolah benang, hingga mempelajari motif-motif yang sesuai dengan adat dan nilai budaya daerah setempat.
Kelompok pulau lainnya di NTT yang kental budaya menenunnya adalah Rote, Ndao, dan Sawu. Secara geografis, ketiga pulau tersebut berdekatan. Oleh sebab itu, motif tenun dari ketiga pulau tersebut senada karena saling memengaruhi. Umumnya, motif tenun dari ketiga pulau itu berupa motif floral dan motif geometris yang terangkai halus dalam beberapa jalur.
Motif potola yang dibawa oleh pedagang-pedagang Gujarat pada abad ketujuh belas menjadi motif berharga yang memperkaya khasanah motif tenun mereka. Betapa tidak, dahulu kain potola hanya dikenakan oleh keluarga raja dan bangsawan. Kain itu diwariskan turun temurun di kalangan mereka saja. Namun keberadaannya yang langka tak membuat para penenun di ketiga pulau tersebut tak mampu menyerap motif potola. Hingga kini, bunga bersudut delapan dalam lingkaran yang motif potola malah menjadi ciri khas tenunan mereka.
Berikut ini beberapa info untuk kamu tentang ciri tenun di masing-masing pulau:
1. Tenun Rote
Kain tenun ikat dari Rote biasanya berupa kain sarung yang disebut pou, selimut untuk anak lelaki yang disebut lava, atau delava yakni selendang. Warna khas tenun Rote adalah coklat, biru, kuning, dan hitam, dengan motif bunga dan dedaunan. Bentuk tumpal dan belah ketupat menjadi motif bagian bawah kain tenun.
2. Tenun Sawu
Motif tenun ikat dari Sawu dipengaruhi oleh sistim kekerabatan yang rumit di dalam masyarakatnya. Motif bunga besar dan warna biru tua kombinasi merah terang melambangkan keanggotaan pada klan besar. Sementara motif bunga kecil dan warna biru muda menandakan keanggotaan pada klan kecil.
3. Tenun Ndao
Motif tenun ikat di daerah Ndao mengandung unsur motif tenun ikat dari Rote dan Sawu. Banyak orang ndao yang bekerja secara musiman di pulau Rote dan sawu. Atau sebaliknya, pesanan kain tenun pulau Rote dan Sawu dikerjakan oleh penenun Ndao di Ndao.
Tak heran jika NTT sangat kaya akan ragam kain tenun ikat. Pekerjaan menenun sudah mendarah daging bagi penduduknya. Bahkan menurut mereka, pekerjaan menenun adalah pekerjaan yang diturunkan oleh Dewa.
sumber: KainIkat.com
Tenun Ikat Adonara1-2
Oleh :Petronela Somi Kedan
Tenun Ikat Tradisional Flores - Adonara 1
Kwatek Adonara
Kwatek (untuk perempuan, lihat aku di sebelah kanan,hehheh)/Nowi'n(untuk laki-laki, lihat nowi'n yang digunakan oleh pemain Hedung) merupakan tenunan tradisional asal Flores - Adonara( kalau Malaysia belum nyolong, dan kalau malaysia berani, tite tabu' rak aeka sampe rera gere),,,, Tenunan ini berbeda-beda motif nya di tiap daerah di Nusa Tenggara Timur, khusus untuk Adonara tenunan ini memiliki ciri umum dengan variasi lebih dari 3 benang dan ukiran motif hanya berada di bagian atas dan bawah sarung saja, ini tidak seperti tenunan tradisional lain, dari maumere misalnya, ukiran motif ada di seluruh sarung menyebar secara merata dan padat. Satu lagi yang membedakan kwatek Adonara dengan kwatek lain adalah, penggunaan benang yang di buat sendiri dari kapas sebagai campuran, meskipun cuma sedikit, tetapi pasti selalu ada. Cara gampang dan mahal untuk mengetahui perbedaan masing-masing tenunan tradisional di flores adalah dengan mengoleksi semuanya heheh.
Kwatek dan Nowi'n berbeda dari segi motif dan warna yang digunakan, kalau kwatek lebih "rame" dalam hal variasi warna dan motif sementara Nowi'n lebih simpel.Meskipun satu digunakan oleh perempuan dan yang satu lagi digunakan oleh laki-laki, tetapi dalam hal penyebuatan, untuk mempermudah kadang digunakan kata Kwatek yang menunjukkan tenunan tradisional Adonara.
Penggunaan Kwatek & Nowi'n
Tenunan tradisional ini sampai sekarang masih digunakan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Adonara meskipun dengan frekuensi yang mulai menurun sebagai akibat dari perkembangan mode dalam fashion yang didukung oleh kelancaran arus barang dan jasa serta berkurangnya minat menggunakan Kwatek. Tetapi pada acara ataupun pesta adat kwatek masih tetap digunakan karena merupakan sebuah keharusan, misalnya ya dalam tarian hedung atau tarian lain seperti sole (my favorite one, muah, muah,muah), lili dll, dalam pesta pernikahan, ataupun pada saat kematian dan upacara adat lain yang bukan pesta, misalnya orek (acara adat dimana seseorang melakukan perjamuan makan dengan leluhurnya).
Jenis dan Harga
Tenunan
tradisional asal Adonara ini juga berbeda-beda dari segi bahannya,, hal
inilah yang nantinya menyebabkan perbedaan harga. Tenunan yang paling
mahal dan tidak dijual lagi adalah yang dibuat pada zaman dahoeloe kala,
terbuat dari campuran sutra dan benang buatan sendiri dari kapas; di
sebut sunter'a, tenuan ini hanya dimiliki oleh suku-suku tertentu yang
di sebut ata kebe'len (bangsawan), hanya di gunakan pada saat upacara
adat tertentu (kapan yang punya mau). Di urutan kedua adalah kwatek
kiwane yang terbuat dari kapas asli dengan pewarna alami . Di urutan
ketiga ada kwatek campuran dari benang buatan sendiri dan benang
produksi pabrik.
Soal harga? bisa di negolah,,,,sebagai informasi, tanpa perhitungan pengurasan tenaga sang pembuat (perempuan)yang hidup di pinggiran Indonesia, kekurangan air, rata-rata menghabiskan 5 jam untuk mencuci di bak, pulangnya harus kekebun, malamnya harus meniti jagung, kekurangan pendidikan dan kekurangan informasi yang up to date, biaya produksi tenunan ini kurang lebih 80.000 rupi akh. Karena itu dengan segala hormat tolong ditambah dan kalo mau nawar jangan terlalu sadis.
Proses Pembuatan KwatekUntuk Kwatek Kiwane proses pembuatannya bisa memakan waktu selama sebulan serta tergantung musim berbunga dari pewarnanya (keroke) dan tentunya musim berbuah kapas. Sementara untuk Kwatek biasa, pembuatannya memakan waktu sekitar satu minggu.
Secara umum apapun jenis dan motif Kwateknya,,,, menurut adat, tenunan tradisional ini tidak dapat dikerjakan jika di suatu kampung terjadi kemalangan - kematian, dan menurut kebiasaan menenun juga tidak dapat dilakukan jika ada pesta besar (ya iyalah, pada sibuk pesta semua).Ada empat tahap proses pembuatan kwatek, diantaranya;
Soal harga? bisa di negolah,,,,sebagai informasi, tanpa perhitungan pengurasan tenaga sang pembuat (perempuan)yang hidup di pinggiran Indonesia, kekurangan air, rata-rata menghabiskan 5 jam untuk mencuci di bak, pulangnya harus kekebun, malamnya harus meniti jagung, kekurangan pendidikan dan kekurangan informasi yang up to date, biaya produksi tenunan ini kurang lebih 80.000 rupi akh. Karena itu dengan segala hormat tolong ditambah dan kalo mau nawar jangan terlalu sadis.
Proses Pembuatan KwatekUntuk Kwatek Kiwane proses pembuatannya bisa memakan waktu selama sebulan serta tergantung musim berbunga dari pewarnanya (keroke) dan tentunya musim berbuah kapas. Sementara untuk Kwatek biasa, pembuatannya memakan waktu sekitar satu minggu.
Secara umum apapun jenis dan motif Kwateknya,,,, menurut adat, tenunan tradisional ini tidak dapat dikerjakan jika di suatu kampung terjadi kemalangan - kematian, dan menurut kebiasaan menenun juga tidak dapat dilakukan jika ada pesta besar (ya iyalah, pada sibuk pesta semua).Ada empat tahap proses pembuatan kwatek, diantaranya;
- Pudung,
- Ne'ket,
- Tane, dan yang terakhir,
- Jahit.
Sementara itu untuk pembuatan benang, prosesnya terdiri dari
- Kapas dipisahkan dari biji,
- Buhuk (kapas di haluskan),
- Turek (kapas dijadikan benang),
- Lawah,
- Kenodot, dan
- Pewarnaan.
Sumber: lamalekasiadonara.blogspot.com
Tenun Ikat Tradisional Flores-Adonara 2
REVIEW TULISAN PERTAMA
Pada tulisan awal telah di bahas mengenai perbedaan kwatek dengan tenun ikat lain misalnya dengan tenun ikat dari Maumere. Juga di bahas mengenai berbagai jenis dan harga kwatek, (terakhir April 2011 harga terendah dari sebuah kwatek kalau di beli langsung di Adonara adalah Rp. 100.000,-).
Tulisan awal juga membahas mengenai proses pembuatan kwatek yang terdiri dari dua tahapan besar yaitu tahapan pembuatan benang dan tahapan pembuatan kwatek.
http://lamalekasiadonara.blogspot.com/2008/02/kwatek.html
Tulisan
ini merupakan lanjutan dari perkembangan ataupun perubahan informasi
yang ku dapat mengenai proses pembuatan kwatek pada sekitar bulan April
2011,sengaja tulisan yang lalu tidak dirubah ataupun dihapus (biar
postingannya rame :p) sebagai penanda proses perkembangan ataupun
perubahan informasi yang ku dapat mengenai kwatek/nowin.
Beberapa perbedaan dengan tulisan pertama adalah: informasi mengenai oe kenirek, beberapa
kesalahan kata dan definisi serta gambar masing-masing proses.
Pengumpulan data dilakukan dengan mengikuti secara langsung proses
pembuatan kwatek oleh ibu-ibu di desa Lamaleka-Pledo, Witihama, dan diskusi bersama teman-teman anak muda Adonara di Jakarta.
Belakangan baru saya ketahui bahwa proses pembuatan kwatek terdiri dari dua tahapan besar, yang pertama adalah oe kenirek dan yang kedua adalah tahapan pembuatan kwatek itu sendiri.
OE KENIREK
Oe kenirek
dapat disebut sebagai tahapan ideologis dimana perempuan-perempuan
dalam satu garis keturunan mengikut ibu berkumpul dan mempersiapkan
permulaan dari proses penenunan. Pada tahapan inilah, jika seorang
perempuan sudah memutuskan untuk menenun maka ia harus menyelesaikan
tenunannya itu.
oe kenirek dilakukan sejalan dengan musim tanam jagung sampai panen jagung. Dengan demikian, oe kenirek juga
merupakan bagian dari ritual adat yang menyimbolkan proses penutupan
panen lama dan pembukaan panen baru. Karna dalam proses oe kenirek ini ada tahapan memakan panen lama dan panen baru.
selain proses nya juga kadang berbeda pada masing-masing oe, aliran keturunan, oe kenirek juga menyebabkan perbedaan warna, bahan dan motif pada tiap-tiap kwatek/nowin.
Selanjutnya, mengenai oe kenirek ini terbilang sakral, maka informasi yang di dapatkan juga belum sempurna.
PEMBUATAN KWATEK
Bagian kedua pembuatan kwatek ini terbilang praktis karena sudah tidak lagi melibatkan ritual-ritual adat. 1. Balok Kapek : proses memisahkan kapas dengan biji kapas dengan menggunakan alat yang di sebut Menalok
2. Buhu Kapek: proses penghalusan kapas yang dapat dijadikan benang dengan menggunakan menuhuk.
3. Ture Lelu: proses pembuatan benang dengan menarik dan memelintir kapas dengan menggunakan Tenure
4. Lawa Bena: proses pengaturan benang agar tidak kusut dengan menggunakan Blawa.
5. Ta Warna: proses pewarnaan benang dengan menggunakan pewarna alami dan di rendam di dalam kendi.
6. Pai Bena: proses penjemuran benang yang sudah di warnai
7. Pudu Bena: proses pemintalan benang
setelah selesai dengan Tane proses berikutnya adalah menjahit seperti biasa sesuai bentuk dan kwatek pun siap digunakan.
Secara keseluruhan, dalam proses pengumpulan informasi mengenai kwatek kali ini baru dapat ku pahami bagaimana kwatek ternyata memiliki posisi yang sama dengan gading, sangat berharga. Kwatek juga menjadi simbol status sosial pada beberapa orang tertentu, karna beberapa kwatek yang sudah sangat langka hanya dimiliki oleh orang-orang dari golongan bangsawan. Mengenal oe kenirek mengenalkan ku pada satu ruang dalam tradisi Adonara yang memberikan kekuasaan sepenuhnya pada perempuan.
Dalam tulisannya berjudul "Without Cloth We Cannot Marry" The Textiles Of Lamaholot In Transitions, Ruth Barnes menyebutkan bahwa tenun ikat Lamaholot juga mendapat pengaruh dari India, Arab dan Cina. Pernyataan inilah yang ingin ku telusuri lebih jauh, berikut keterkaitan antara budaya menenun dengan pandangan hidup orang Adonara dan makna sesungguhnya dari tenun ikat ini yang tertuang dalam warna, pola, bahan dan simbolisasi-simbolisasi lain dalam tiap proses nya.
Sumber: lamalekasiadonara.blogspot.com
SEKILAS TENTANG KAIN TENUN
Setiap suku/etnis memiliki bahasa sendiri dengan lebih dari 100 dialek,
memiliki adat, budaya dan kesenian sendiri-sendiri. Hal ini yang
mempengaruhi sekaligus menerangkan dan menggambarkan mengapa ada begitu
banyak corak hias/ motif tenunan pada kain tradisional di Provinsi Nusa
Tenggara Timur. Setiap suku mempunyai ragam hias tenunan yang khas yang
menampilkan tokoh-tokoh mitos, binatang, tumbuh-tumbuhan dan juga
pengungkapan abstraknya yang dijiwai oleh penghayatan yang mendalam akan
kekuatan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni :
.
SEKILAS TENTANG KAIN
TENUN
Tenunan yang dikembangkan
oleh setiap suku/ etnis di Nusa Tenggara Timur merupakan seni kerajinan
tangan turun-temurun yang diajarkan kepada anak cucu demi kelestarian seni
tenun tersebut. Motif tenunan yang dipakai seseorang akan dikenal atau
sebagai ciri khas dari suku atau pulau mana orang itu berasal, setiap orang
akan senang dan bangga mengenakan tenunan asal sukunya.
Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu
Pada suku atau daerah tertentu, corak/motif binatang atau orang-orang lebih banyak ditonjolkan seperti Sumba Timur dengan corak motif kuda, rusa, udang, naga, singa, orang-orangan, pohon tengkorak dan lain-lain, sedangkan Timor Tengah Selatan banyak menonjolkan corak motif burung, cecak, buaya dan motif kaif. Bagi daerah-daerah lain corak motif bunga-bunga atau daun-daun lebih ditonjolkan sedangkan corak motif binatang hanya sebagai pemanisnya saja.
Kain tenun atau tekstil tradisional dari Nusa Tenggara Timur secara adat dan budaya memiliki banyak fungsi seperti :
1). Sebagai busana sehari-hari untuk melindungi dan menutupi tubuh.
2). Sebagai busana yang dipakai dalam tari-tarian pada pesta/upacara adat.
3). Sebagai alat penghargaan dan pemberian perkawinan (mas kawin)
4). Sebagai alat penghargaan dan pemberian dalam acara kematian.
5). Fungsi hukum adat sbg denda adat utk mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu.
6). Dari segi ekonomi sebagai alat tukar.
7). Sebagai prestise dalam strata sosial masyarakat.
8). Sebagai mitos, lambang suku yang diagungkan karena menurut corak/ desain tertentu
akan melindungi mereka
dari gangguan alam, bencana, roh jahat dan lain-lain.
9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.
9). Sebagai alat penghargaan kepada tamu yang datang (natoni)
Dalam masyarakat tradisional Nusa Tenggara Timur tenunan sebagai harta milik keluarga yang bernilai tinggi karena kerajinan tangan ini sulit dibuat oleh karena dalam proses pembuatannya/ penuangan motif tenunan hanya berdasarkan imajinasi penenun sehingga dari segi ekonomi memiliki harga yang cukup mahal. Tenunan sangat bernilai dipandang dari nilai simbolis yang terkandung didalamnya, termasuk arti dari ragam hias yang ada karena ragam hias tertentu yang terdapat pada tenunan memiliki nilai spiritual dan mistik menurut adat.
Pada mulanya tenunan dibuat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari sebagai busana penutup dan pelindung tubuh, kemudian berkembang untuk kebutuhan adat (pesta, upacara, tarian, perkawinan, kematian dll), hingga sekarang merupakan bahan busana resmi dan modern yang didesain sesuai perkembangan mode, juga untuk memenuhi permintaan/ kebutuhan konsumen.
Dalam perkembangannya, kerajinan tenun merupakan salah satu sumber pendapatan (UP2K) masyarakat Nusa Tenggara Timur terutama masyarakat di pedesaan. Pada umumnya wanita di pedesaan menggunakan waktu luangnya untuk menenun dalam upaya meningkatkan pendapatan keluarganya dan kebutuhan busananya.
ibu-ibu sedang membuat
kain tenun secara tradisional
|
Jika dilihat dari proses produksi atau cara mengerjakannya maka tenunan yang ada di Nusa Tenggara Timur dapat dibagi menjadi tiga jenis, yakni :
1. Tenun Ikat ; disebut
tenun ikat karena pembentukan motifnya melalui proses pengikatan benang.
Berbeda dengan daerah lain di Indonesia, untuk menghasilkan motif pada kain
maka benang pakannya yang diikat, sedangkan tenun ikat di Nusa Tenggara
Timur, untuk menghasilkan motif maka benang yang diikat adalah benang
Lungsi.
2. Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) "tenunan buna" yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai.
3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif.
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
1). Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada.
2). Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Utara.
3). Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat.
2. Tenun Buna ; istilah daerah setempat (Timor Tengah Utara) "tenunan buna" yang maksudnya menenun untuk membuat corak atau ragam hias/motif pada kain mempergunakan benang yang terlebih dahulu telah diwarnai.
3. Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; Disebut juga tenun Sotis atau tenun Songket, dimana proses pembuatannya mirip dengan pembuatan tenun Buna yaitu mempergunakan benang-benang yang telah diwarnai.
Dilihat dari kegunaannya, produk tenunan di Nusa Tenggara Timur terdiri dari 3 (tiga) jenis yaitu : sarung, selimut dan selendang dengan warna dasar tenunan pada umumnya warna-warna dasar gelap, seperti warna hitam, coklat, merah hati dan biru tua. Hal ini disebabkan karena masyarakat/ pengrajin dahulu selalu memakai zat warna nabati seperti tauk, mengkudu, kunyit dan tanaman lainnya dalam proses pewarnaan benang, dan warna-warna motif dominan warna putih, kuning langsat, merah mereon.
Untuk pencelupan/ pewarnaan benang, pengrajin tenun di Nusa Tenggara Timur telah menggunakan zat warna kimia yang mempunyai keunggulan sepeti : proses pengerjaannya cepat, tahan luntur, tahan sinar, dan tahan gosok, serta mempunyai warna yang banyak variasinya. Zat warna yang dipakai tersebut antara lain : naphtol, direck, belerang dan zat warna reaktif.
Namun demikian sebagian kecil pengrajin masih tetap mempergunakan zat warna nabati dalam proses pewarnaan benang sebagai konsumsi adat dan untuk ketahanan kolektif, minyak dengan zat lilin dan lain-lain untuk mendapatkan kwalitas pewarnaan dan penghematan obat zat pewarna.
Dari ketiga jenis tenunan tersebut diatas maka penyebarannya dapat dilihat sebagai berikut :
1). Tenun Ikat ; penyebarannya hampir merata disemua Kabupaten di Nusa Tenggara Timur kecuali Kabupaten Manggarai dan sebagian Kabupaten Ngada.
2). Tenun Buna ; Penyebarannya di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, Belu dan yang paling banyak adalah di Kabupaten Timor Tengah Utara.
3). Tenun Lotis/ Sotis atau Songket ; terdapat di Kabupaten/ Kota Kupang, Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Lembata, Sikka, Ngada, Manggarai, Sumba Timur dan Sumba Barat.
Contoh Tampilan Motif Kain
Tenun
Per Kabupaten Kota
Se-NTT
Per Kabupaten Kota
Se-NTT
Kabupaten |
:: Motif dan Ragam Tenunan Sumba Barat |
:: Motif dan Ragam Tenunan Sumba Timur |
:: Motif dan Ragam Tenunan Kupang |
TTS |
TTU |
:: Motif dan Ragam Tenunan Belu |
:: Motif dan Ragam Tenunan Alor |
:: Motif dan Ragam Tenunan Lembata |
:: Motif dan Ragam Tenunan Flotim |
:: Motif dan Ragam Tenunan Sikka |
:: Motif dan Ragam Tenunan Ende |
:: Motif dan Ragam Tenunan Ngada |
:: Motif dan Ragam Tenunan Manggarai |
:: Motif dan Ragam Tenunan RoteNdao |
Sumber: website pemerintah provinsi NTT
Sumber : tamanbudayantt.org
Langganan:
Postingan (Atom)